Lirik Lagu CNBLUE – Young Forever

Yeongwonhal geot gatdeon sigani jinago
Gipeun goyohameun nareul deo gadugo
Geu chimmukdeureun nal deo gipeun gose ppatteuryeo
Nado eoreuniraneun chakgak soge

We’ll stay young forever
Ajigeun eoryeo jinaganeun gwajeongil ppun
We’ll stay young forever
Kkeuti ogeodeun geuttaen malhallae
Thankt to myself

Stay young forever ooh ooh
Stay young forever ooh ooh
Stay young forever ooh ooh
Geuttaen malhallae Thankt to myself

Yeongwonhal georadeon sarami tteonado
Nareul jikyeojul saram hana eopsda neukkyeosseo
Hollo namgyeojyeossdaneun chakgak soge

We’ll stay young forever
Ajigeun eoryeo jinaganeun gwajeongil ppun
We’ll stay young forever
Kkeuti ogeodeun geuttaen malhallae
Thankt to myself

Stay young forever ooh ooh
Stay young forever ooh ooh
Stay young forever ooh ooh
Geuttaen malhallae Thankt to myself

Can we go back
But there’s no way back
Can we go back
But there’s no way back
Can we go back
But there’s no way back
We’ll forever young

Can we go back
But there’s no way back
We’ll forever young

We’ll stay young forever
Ajigeun eoryeo jinaganeun gwajeongil ppun
We’ll stay young forever
Kkeuti ogeodeun geuttaen malhallae
Thankt to myself

Stay young forever ooh ooh
Stay young forever ooh ooh
Stay young forever ooh ooh
Geuttaen malhallae Thankt to myself

Can we go back
But there’s no way back
Can we go back
But there’s no way back
Can we go back
But there’s no way back
We’ll forever young…

ASA KEBIJAKSANAAN

Malam bertabur bintang, diselimuti sang mega dimana peri-peri malam melamun begitu khusyuknya, Ica dikejutkan oleh suara-suara gonggongan anjing yang semakin larut malam semakin menyeramkan dan mencekam. Ica terbangun dari tidur lelapnya.
“Mama, Ica takut” ungkap Ica sambil menggoyang-goyang tubuh mamanya.
“Kenapa sayang?” Tanya mama.
“Tidak tau kenapa perasaan Ica gak enak ma”
“Sudahlah, jangan berfikir yang macam-macam, mama ngantuk”
Dengan perasaan yang teramat kalut, Icapun membaringkan kembali tubuh mungilnya disebuah lantai yang hanya beralaskan kasur lusuh, disana tidak ada kasur yang empuk, fasilitas yang mewah apa lagi Air Counditioner (AC). Jangankan fasilitas seperti itu, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari saja ibu Ica harus bekerja banting tulang disebuah sawah yang tidak begitu luas, Ica dan kedua adiknya benar-benar hidup dalam keadaan yang tidak berkecukupan. Meskipun demikian, Ica mempunyai hati malaikat.
“Assalamu’alaikum…..” terdengar sumber suara dari depan rumah Ica.
“Wa’alaikumsalam…..” jawab Ica dan langsung bergegas menuju sumber suara tersebut.
Terlihat seorang perempuan tua yang mulai renta berdiri didepan rumah Ica, dengan senyum ketulusan Icapun menghampirinya.
“Nak, tolong saya….” Perempuan itu menghentikan ucapannya.
“Saya sangat membutuhkan bantuanmu, saya sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk melunasi hutang-hutang saya, jangankan untuk melunasi hutang, untuk makan sehari-hari saja saya tidak punya. Kepahitan hidup yang saya alami sudah sangat memuncak, saya tidak tau lagi apa yang harus saya lakukan” lanjut perempuan itu dengan keluh kesahnya dengan berderai air mata..
Dengan perasaan iba, Icapun berusaha menenangkan dan mencairkan suasana
“Sudahla nek, tenang saja Allah pasti akan mengeluarkan nenek dari masalah ini, yakinlah Allah tidak akan mencoba kita kalau kita tidak sanggup untuk melewati cobaan tersebut” ungkap Ica sambil menggenggam erat tangan perempuan renta itu.
“Sering sekali rasa ingin bunuh diri hinggap pada saya, tetapi saya takut. Kemudian saya putuskan untuk berjalan kesana-kemari hingga tibalah dirumahmu ini, oleh karena itu kasihanilah saya dan berilah saya sepotong makanan, lalu ubahlah penderitaan saya ini” jawabnya sambil berharap.
Sampai disini, tangis perempuan renta itupun semakin bertambah keras, Ica lalu bangkit dan memberikan makanan kepada perempuan tua itu, dengan lahap perempuan tua tersebut langsung memakan roti yang diberikan Ica.
“Terimakasih nak, bisakah kau memberikan pekerjaan kepada saya? Tidak masalah
dengan upah yang sedikit, asalkan saya bisa mengumpulkan uang sedikit demi   sedikit untuk melunasi hutang saya” tatap perempuan tersebut dengan penuh harap.
“Maafkan saya nek, saya tidak bisa membantu nenek seperti apa yang nenek harapkan karena saya hanya seorang anak petani miskin yang tinggal digubuk reot ini” ucap Ica dengan lemah lembut.
Perempuan itupun mengucapkan terimakasih kepada Ica atas kemuliaan dan kasih sayangnya, lalu ia berkata :
“Saya mengerti dengan situasi dan kondisi keluargamu, semoga engkau tetap menjadi mata air kasih sayang dan kebaikan”.
Setelah itu perempuan itupun pamit pulang.
Kini Ica telah berumur 15 tahun, siang maupun malam ia tidak malas untuk bekerja membantu ibunya disawah, iapun tidak mudah lalai sebagaimana anak seusianya. Oleh karena itu ia bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita agar dapat membahagiakan ibunya.
Ica mulai bekerja untuk mewujudkan cita-citanya, apa yang dikerjakannya jarang sekali salah dan keliru dan ia juga sangat jarang bersandar atau meminta petunjuk kepada ibunya, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Pada suatu hari, kami dapat menikmati bercengkrama bersama sambil melihat pemandangan disekitar halaman rumah. Angin sepoy-sepoypun bertiup dengan lembutnya dan rumput-rumputpun bergoyang demikian eloknya, terlihat kedua adik Ica yang sedang bermain loncat-loncatan dengan penuh senyum kebahagiaan.
Namun, ketika kami masih asyik menikmati suasana itu, ternyata sore mulai datang dan bulatan matahari berhenti diatas puncak gunung bagaikan lidah api merah yang memancarkan sinar kuning keemasan dicakrawala, lalu cahayanyapun menembus sela-sela ranting seperti kepingan emas yang berhamburan.
Tidak lama setelah itu, malam mulai merayap dan keadaanpun tersulap menjadi sunyi dan menakutkan, semuanya menjadi hening kecuali suara jangkrik yang mulai terdengar memecah sepi. Tidak ada lagi keriuhan yang diciptakan oleh manusia, semua seakan-akan seperti kampung yang tiada berpenghuni.
Ica tidak bisa tidur, fikirannya melayang entah kemana, ia ingin mengeluarkan kegelisahan dan rahasia hatinya tetapi ia tidak kuat untuk mengatakan semua itu kepada ibunya. Dimana suatu kejadian yang menimpanya 2 bulan yang lalu disaat ibunya sedang berada disawah dan kedua adiknya tertidur pulas, disuatu siang yang seakan-akan mencabik-cabik hati, perasaan, naluri dan fikiran seorang wanita remaja.
Ibu yang melihat dan menangkap tingkah laku aneh Ica langsung menghampirinya disebuah kasur lusuh.
“Ada apa sayang?” tanya ibu yang mengagetkan Ica karena ia tidak menyadari kedatangan ibunya.
Dengan perasaan yang menggebu-gebu dan sesak hati yang tak terbendung lagi Icapun menatap dalam-dalam kedua bola mata ibunya sambil mengumpulkan segala kekuatan yang masih tersisa dan berusaha untuk kelihatan tegar mengatakan sebab yang selalu membuat hatinya gelisah selama ini.
“Ibu, maafkan Ica, Ica sudah bersalah menutupi semua ini, Ica takut bu, takut ibu kenapa-kenapa memikirkan ini semua, Ica tak sanggup melihat ibu sedih dan frustasi disaat kelelahan belum hilang dari raga ibu. Ica benar-benar…..” tangisan Ica meledak seketika dan buliran-buliran beningpun menghiasi kedua sudut pipinya.
Dengan perasaan yang teramat kalut ibu berusaha tegar melihat pemandanga itu.
“Ica kenapa? Apa yang telah terjadi?” Tanya ibu dengan nada bingung.
“Ibu, taukah ibu selama ini Ica telah menyembunyikan sesuatu yang terjadi 2 bulan yang lalu? Kejadian yang sangat menyakitkan yakni ketika pemerintah kota datang bertandang kerumah kita tercinta ini? Ketika ia mengatakan dalam tempo tidak kurang dari 2 bulan daerah tempat tinggal kita ini akan segera digusur karena kita disini tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Ica sedih bu, sedih….. Ica tidak ingin pergi dari tempat kelahiran Ica, Ica tak sanggup bu” ucap ica dengan jeritan hatinya yang teramat dalam.
Terlihat buliran bening membasahi pipi seorang wanita paruh baya itu, dengan segala kekuataan yang dimilikinya ia pun berusaha menenangkan suasana hatinyanya. Inilah mala petaka yang telah menghapus gambar dan garis-garisnya dari lembaran waktu, semua itu seakan-akan belum pernah terbayang dan terbersit sebelumnya.
Kini tak ada lagi seutas senyum dirongga-rongga ruang itu, malampun berlalu dengan dekapan sunyi yang seram dan mencekam, seakan-akan tak ada lagi kehidupan. Semua seperti membisu, langitpun dengan kumparan awannya menutupi cahaya bulan yang sedang bertandang dikerajaan langit, suasana alam seakan sedih menyaksikan kepahitan hidup yang dialami sebuah keluarga miskin ini.
Matahari bersinar dengan eloknya, pagipun menyapa dengan hangatnya dan kicau burungpun menyemarakkan indahnya pagi.
“Permisi…..” sebuah suara yang mengejutkan Ica, ibu dan kedua adiknya, ibunya pun bergegas menghampiri suara tersebut. Terlihat seorang lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian seragan dari instansi setempat.
“Maaf bu, jatuh tempo telah berakhir. Silahkan ibu mengeluarkan semua barang-barang yang ada didalam dan bersegeralah pergi dari tempat ini” lanjut orang tersebut denga ketus.
Bagaikan petir disiang bolong saat ibu Ica mendengarkan kata-kata tadi dan dengan beruraian air mata wanita itupun berusaha melangkahkan kaki setapak demi setapak menuju masuk kedalam rumahnya dengan perasaan hancur berkeping-keping, namun ia tetap ingin terlihat tegar didepan ketiga anaknya. Dengan seutas senyum kepalsuan yang berhasil dibuatnya, ibu melihat Ica dan kedua adiknya dengan tatapan kasih sayang sambil berkata :
“Hari yang ditakutkan telah tiba nak, ayo kita bereskan semua barang-barang milik kita dan segera meninggalkan tempat ini”.
“Ibu, Ica tidak mau pergi dari sini” jawab Ica sambil berlari menuju orang-orang berseragam tadi.
“Pak, masihkan ada hati nurani yang bapak miliki? Tidakkan bapak sebagai pemerintah memikirkan nasib yang melanda rakyat bapak yang tidak memiliki tempat tinggal?” Tanya Ica dengan emosi yang meluap-luap.
Terjadilah perdebatan panjang antara pemerintah, ibu, dan Ica. Dengan perasaan yang teramat sedih dan gundah Ica, ibu dan kedua adiknyapun berusaha berjalan dengan sisa-sisa tenaganya melewati jalan yang terjal keluar dari tanah kelahiran mereka dengan suasana hati yang tak menentu.
“Tenanglah bu, assyarru bisyarrie, alkhairu bil khairi, kejahatan pasti dibalas dengan kejahatan, kebaikanpun akan dibalas dengan kebaikan. Suatu saat nanti pasti kita akan menemukan tempat yang terbaik dari Tuhan kita” desah Ica disela-sela perjalanan.

 

*——————————–FINAL———————————*

Ini adalah tulisan kedua yang kutulis ketika mata kuliah Bahasa Indonesia empat tahun yang lalu (02-11-2012). Masa-masa yang tak akan terlupa, ketika aku baru menginjakkan kaki di salah satu Universitas Negeri yang ada di kota Pontianak KALBAR. Meski aku bukan berada di Jurusan Bahasa Indonesia, tetap saja ada mata kuliah Bahasa Indonesia di Jurusan yang menjadi pilihanku Jurusan Komunikasi, yaitu Komunikasi Penyiaran Islam dengan konsentrasi broadcasting. Aakkhh, semua tak akan terulang dan terlupakan 🙂